Rabu, 14 Mei 2008

Kesenjangan Informasi Media Massa di Dunia

Kesenjangan Informasi Media Massa di Dunia
Informasi dan komunikasi saat ini berkembang semakin cepat dan luas. Hal ini dapat kita lihat dengan munculnya berbagai alat komunikasi dan informasi disekitar kita. Alat-alat tersebut selain mampu menempuh komunikasi jarak jauh, namun kini keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan kita sehari-hari. Hingga yang tadinya merupakan kebutuhan tersier, sekarang mulai beralih menjadi kebutuhan sekunder, bahkan ada pula yang mengatakan komunikasi adalah kebutuhan primer.
Sungguh mengherankan, ketika kurang lebih tujuh tahun yang lalu kita masih awam dan begitu tabu dengan alat komunikasi handphone. Maka sekarang alat ini dapat kita jumpai dan kita peroleh dengan mudah. Kita pun dapat melihat anak-anak kecil mempunyai dan sangat lihai dalam menggunakan handphone. Handphone yang sebelumnya merupakan high product dan hanya mampu dimiliki oleh segelintir orang saja, sekarang masyarakat menengah ke bawah pun mulai banyak yang menggunakan alat ini.
Fenomena tersebut adalah salah satu bentuk dari berkembang pesatnya komunikasi dan kebutuhan manusia. Disatu sisi, kemajuan teknologi ini memberikan banyak kontribusi positif bagi kehidupan manusia. Kita tidak perlu pergi jauh-jauh mengunjungi suatu negara untuk mengetahui bagaimana latar belakang negara tersebut, potret kehidupan masyarakatnya, perekonomiannya, perindustriannya, dan lain-lain. Hanya dengan duduk di depan komputer (internet) kita sudah mampu menjelajah bahkan ke negara-negara lain untuk mendapatkan berbagai informasi. Namun ternyata disisi lain kemajuan teknologi ini juga berdampak pada kesenjangan dan kemerosotan pola hidup masyarakat. Kesenjangan informasi ini ditandai dengan semakin bergantungnya masyarakat terhadap komunikasi dari luar. Kita semakin larut dan hanyut ketika arus informasi datang ke kita. Bahkan informasi yang tidak kita inginkan pun juga akan menghampiri kita. Seakan kita sudah terjebak dan terkekang dengan informasi. Fungsi positif dan negatif ini sejalan dengan pendapat dari Robert K. Merton dalam teori pendekatan strukturalismenya.
Kesenjangan informasi tersebut awalnya dirasakan oleh sebagian besar masyarakat dalam suatu negara. Tetapi dalam perkembangan lebih lanjut, kesenjangan informasi ini ternyata meluas hingga ke beberapa negara. Polemik ini melibatkan tidak hanya beberapa negara saja, namun juga menjadikan dunia internasional menjadi terpecah antara dua kubu. Pertentangannya kemudian melibatkan antara negara-negara Dunia Kesatu (seperti Amerika Serikat dan Negara-negara Eropa) dengan Dunia Ketiga (negara-negara berkembang, seperti Amerika Latin, Afrika, dan Asia, termasuk Indonesia).
Kecenderungan ini pada akhirnya menimibulkan konvergensi di berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Hal ini karena informasi dan komunikasi dapat melikupi bidang-bidang tersebut. Dalam politik kita membutuhkan komunikasi, hingga muncullah komunikasi politik. Dalam ekonomi kita membutuhkan komunikasi, maka lahirlah komunikasi pembangunan. Bahkan dalam kehidupan sosial pun kita membutuhkan komunikasi, yang kita kenal dengan sosiologi komunikasi. Begitu pula dengan bidang-bidang lainnya, komunikasi dan informasi menjadi multidisipliner.
Namun seperti paradigma fungsi dan disfungsi di atas, percampuran informasi dan komunikasi ke dalam berbagai bidang lain ternyata juga berakibat kesenjangan bidang-bidang tersebut. Semuanya berawal dari sumber arus informasi yang datang dari negara-negara Dunia Ketiga. Tentu saja negara-negara berkembang yang notabenenya sebagai konsumen informasi merasakan ketidakadilan, karena banyak informasi yang datang tidak sesuai dengan latar belakang kebudayaan, keyakinan, dan kehidupan sosial mereka. Semua menjadi seragam dan kita seakan terus dipaksa untuk mengikuti tawaran-tawaran dari negara Dunia Ketiga. Percampuran berbagai bidang tadi (politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya) lambat laun menimbulkan kesan negatif dan homogen. Peristiwa yang terjadi disebuah negara akan segera mempengaruhi perkembangan masyarakat di negara-negara lain. Menurut istilah John Naisbitt dan Patricia Aburdene (1991), dunia kini menjadi sebuah global village.

Model S-M-C-R-E (Short-Message-Chanel-Receiver-Effect)
Permasalahan kesenjangan informasi dan komunikasi dalam dunia internasional ini sesuai dengan teori komunikasi model S-M-C-R-E (Short-Message-Chanel-Receiver-Effect). Teori ini menyatakan bahwa media massa mempunyai kekuatan yang besar dalam menyampaikan sebuah pesan kepada masyarakat. Komunikasi yang berlangsung adalah komunikasi satu arah (one way flow of world communication), yakni bersifat linier dengan tidak ada umpan balik (feed back) dari komunikan kepada komunikator. Media massa menyajikan stimuli yang begitu kuat, sehingga mampu melahirkan perasaan emosi, desakan, pemikiran di luar nalar yang hamper tidak dapat dikontrol oleh penerimanya. Bahkan tanpa disadari, komunikan lambat laun akan terhanyut dan larut dengan informasi yang disajikan oleh media massa.
Namun berbeda dengan teori lain seperti model S-M-R-C (Short-Message-Chanel-Receiver) atau model jarum hipodermik (hypodermic needle model), model S-M-R-C-E memiliki efek atau dampak bagi komunikan berupa kritik (penolakan). Komunikan masih memiliki andil dalam komunikasi ini dalam bentuk kritik atau ketidakpuasan. Kritk dari komunikan dapat kita lihat dari penuntutan negara Dunia Ketiga terhadap dominasi informasi dan komunikasi dari negara Dunia Kesatu. Akan tetapi, kritik ini hanya diperuntukkan bagi diri komunikan itu sendiri dan sulit untuk tersampaikan kepada komunikator. Sehingga komunikasi masih berlangsung satu arah.
Penulis menggunakan model S-M-C-R-E (Short-Message-Chanel-Receiver-Effect) karena melihat masih adanya perlawanan (efek) dari komunikan berupa kritik. Berbeda dengan model jarum hipodermik yang menyatakan komunikan sangat bersifat pasif, dalam permasalahan kesenjangan ini teori komunikasi mengalami perkembangan dengan menjadikan komunikan sedikit memiliki andil dalam berlangsungnya komunikasi.

Kerangka Pikiran dan Analisis
Masalah kesenjangan informasi dan komunikasi dunia internasional ini mulai hangat dibicarakan pada decade tahun 1970-1980. Ketika itu, anggota-anggota negara Dunia Ketiga menuntut diberlakukannya tata informasi dan komunikasi dunia yang baru (A New World Information and Communication Order). Yakni sistem tata informasi dan komunikasi yang lebih adil dan berimbang antara barat dan timur.
Negara-negara Dunia Ketiga melihat bahwa informasi yang datang dari barat banyak yang mengandung unsur kebebasan. Informasi ini seringkali menimbulkan persepsi yang salah dari masyarakat. Dunia Kesatu hanya menganggap arus informasi internasional yang bebas (free flow) tanpa kekangan oleh masing-masing sistem nasional. Kemudian dengan konsep kebebasan tadi, mereka mampu dan menganggap bahwa informasi yang mereka sampaikan merupakan hak dari setiap individu untuk memperoleh informasi.
Ketimpangan informasi dunia internasional ini berawal dari interdependensi atau ketergantungan media-media local terhadap media asing. Di negara-negara berkembang khususnya, media-media swasta sangat tumbuh sedemikian cepat. Mereka saling berlomba-lomba untuk mendapatkan berita dan informasi. Persaingan ini kemudian meluas dengan menghadirkan informasi-informasi dari pihak luar. Media lokal meyakini bahwa kecenderungan masyarakat pribumi terhadap kebudayaan dari negara lain sangat tinggi. Hal ini juga didukung dengan kemajuan dan kesejahteraan dari Negara-negara maju. Seolah menggambarkan kalau Negara barat lebih modern, kebudayaannya lebih bersifat bebas dan sedikit intervensi dari pemerintah maupun masyarakat sekitar. Masyarakat seolah diajak untuk bermimpi dan melahirkan pemikiran bahwa dunia barat adalah dunia modis, modern, maju, dan berkelas tinggi. Persaingan antara media swasta tadi ternyata menyebabkan masyarakatnya semakin larut dan hanyut akan gambaran keindahan negara-negara barat.
Ketergantungan media-media swasta tersebut dikarenakan kurangnya akses dan keterbatasan teknologi atau ekonomi yang mereka miliki. Mereka hanya bisa mengambil atau membeli berita dari kantor-kantor berita asing (seperti Reuters, AFP, UPI, CNN, dan lain-lain) untuk kemudian disampaikan kepada masyarakat. Seperti kita ketahui, suatu berita selalu memiliki sisi subjektif dari penulis atau wartawannya. Maka berita-berita asing tersebut pasti mengandung unsur ideologi, keyakinan, visi misi, dan pandangan dari setiap kantor berita asing. Pada akhirnya media swasta hanya bisa mengedit dan membatasi setiap berita yang diterimanya, kemudian disesuaikan dengan ideologi, visi misi, dan keyakinan dari media swasta itu sendiri. Media lokal pun menjadi sulit untuk mengembangkan inovasi-inovasi dari suatu pemberitaan. Mereka hanya bisa memilih-milih berita yang sesuai dengan latar belakang media lokal. Kreativitas mereka menjadi terkungkung dengan hanya mengambil berita dari beberapa sumber saja, tanpa terjun langsung untuk mengamati, meneliti, dan menginvestigasi peristiwa yang akan dijadikan berita. Hingga ketika berita tersebut sampai kepada masyarakat, kita akan melihat hampir adanya keseragaman berita-berita dunia internasional antara media yang satu dengan media yang lain. Kalaupun ada perbedaan, hal itu hanya sebatas pada pandangan dan subjektivitas dari industri dan organisasi media-media swasta.
Interdependensi media swasta terhadap media asing juga tidak hanya dalam lingkup berita saja, melainkan juga melikupi bidang-bidang lain. Melalui televisi, internet, dan surat kabar, industri media juga menawarkan sisi estetika dunia barat. Sehingga kesenjangannya semakin luas dengan melibatkan bidang-bidang lain. Contohnya kita dapat lihat dari perubahan pola hidup masyarakat. Masyarakat lebih senang pergi ke tempat-tempat yang berbau barat, entah itu untuk sekedar makan, membeli pakaian, ataupun membeli barang-barang impor. Lingkungan di sekitar kita pun tidak luput dari globalisasi kebudayaan, seperti perubahan bentuk bangunan, sarana transportasi, bahkan hingga menamakannya pun mengikuti barat (seperti transportasi busway, water way, subway dan pusat perbelanjaan ITC, Citos, DTC). Kemudian disusul dengan berbagai program acara televisi (sinetron, film, reality show, dan lain-lain) yang mengikuti program acara di stasiun televisi asing, seperti sinetron-sinetron remaja yang umumnya mengadopsi dari sinetron di Taiwan dan Korea, serta acara-acara reality show di Indonesia (Deal or No Deal, Who Wants to be a Millionare, dan Mamamia di Indosiar).
Dengan interdependensi tersebut, meskipun dalam ruang lingkup yang luas, namun arus informasi dan komunikasi yang berlangsung mirip dan sesuai dengan model komunikasi dua tahap (two step flow model). Konsep kemunikasi ini berasal dari Paul Lazarsfeld, Berelson, dan Gaudet (1948) yang mendasarkan penelitiannya menyatakan bahwa ide-ide seingkali datang dari radio dan surat kabar yang ditangkap oleh pemuka pendapat (atau media-media lokal) dan dari mereka ini berlalu menuju masyarakat yang kurang giat. Tahap pertama adalah dari sumbernya, yakni kantor berita asing kepada media-media local yang menyampaikan informasi. Kemudian dilanjutkan dengan tahap kedua, yakni dari media local kepada masyarakat. Bahkan fenomena ini juga dapat kita masukkan dalam model komunikasi tahap ganda (multi step flow model), yakni model yang didasarkan pada fungsi penyebaran yang terjadi pada kebanyakan situasi komunikasi.
Seperti dijelaskan diatas, yang sesungguhnya menjadi korban adalah masyarakat dari negara-negara Dunia Ketiga. Mereka sebagai konsumen informasi selalu menerima segala informasi dari media-media. Pemberitaan dari suatu media memliki karakteristik menggeneralisasi dan bersifat linier. Biasanya karena persaingan dari media swasta lain, media informasi seringkali tidak mengindahkan nilai-nilai dan norma yang ada di masyarakat. Mereka hanya mementingkan rating dan minat dari masyarakat. Sehingga apabila masyarakat tidak menyukai suatu program acara, maka industri media atau production house dengan cepat akan mengganti program acara tersebut. Media massa yang seharusnya berfungsi memberdayakan masyarakat dan mengontrol sosial, kini mengalami pergeseran menjadi dikontrol oleh sosial karena tidak memiliki prinsip kuat dan hanya mengikuti selera publik.
Akibat dari gencarnya informasi nuansa hedonis barat, masyarakat di negara berkembang mengalami berbagai proses perubahan, seperti alienasi dan dehumanisasi. Alienasi adalah keadaan merasa terasing (terisolasi), yakni orang-orang yang tidak mengikuti zaman dan mengalami perubahan gaya hidup ke arah modern akan dikucilkan dari masyarakat. Mereka akan dijauhkan dan dianggap rendah (kuno) oleh masyarakat. Sehingga setiap orang berlomba-lomba untuk menjadi manusia modern dan mengikuti budaya barat. Sedangkan dehumanisasi adalah kebalikan dari humanisasi, yakni manusia tidak lagi mengenal hakikat dirinya dan mereka dipencilkan oleh diri mereka sendiri. Banyak orang tidak lagi memiliki kesanggupan untuk menentukan peranannya dalam komunikasi sosial. Manusia lebih mementingkan keinginan daripada kebutuhannya. Dalam hal ini, hawa nafsu yang begitu besar mengalahkan keterbatasan yang ada pada manusia. Padahal kemungkinan keinginan-keinginan tersebut tidak sesuai dengan diri manusia itu sendiri.
Kita tentu ingat dengan iklan telepon selular Fren dengan jargon atau kata-katanya yang terkenal, “hari gene belum punya handphone”. Sekilas iklan tersebut tampak biasa bagi kita dan masyarakat perkotaan yang notabenenya sudah mempunyai handphone, namun ternyata informasi tersebut memiliki pengaruh yang kuat bagi masyarakat yang belum memiliki telepon selular. Akhirnya, banyak orang-orang yang ingin memiliki alat komunikasi ini juga meskipun dengan keterbatasan ekonomi. Mereka menganggap jika belum memiliki handphone, maka mereka akan ketinggalan zaman dan direndahkan oleh masyarakat. Bahkan dalam perkembangan lebih lanjut, banyak orang yang membeli handphone hanya untuk sekedar gaya atau pamer dengan membeli handphone mahal. Mereka seolah melupakan hakikat handphone sebagai alat komunikasi.
Menghadapi hal ini, pemerintahan dalam negara-negara berkembang tentu saja tidak tinggal diam. Banyak negara yang melakukan upaya untuk mengatasi permasalahan ini. Berbagai macam cara pun mereka lakukan, seperti menuntut ditegakkannya tata informasi dan komunikasi dunia yang baru. Upaya ini membuahkan hasil dengan dikeluarkannya Resolusi Majelis Umum PBB No. 3201 tentang Tata Ekonomi Dunia Baru. Meskipun resolusi ini masih belum tampak secara signifikan dalam tataran praktisnya, namun langkah ini merupakan salah satu bentuk dari penolakan dominasi negara Dunia Kesatu terhadap Negara-negara berkembang. Tentunya kita semua berharap agar kesenjangan informasi dan komunikasi dalam dunia internasional dapat segera teratasi dan menimbulkan keberimbangan bagi semua pihak.

Tidak ada komentar: