Rabu, 14 Mei 2008

Kesenjangan Informasi Media Massa di Dunia

Kesenjangan Informasi Media Massa di Dunia
Informasi dan komunikasi saat ini berkembang semakin cepat dan luas. Hal ini dapat kita lihat dengan munculnya berbagai alat komunikasi dan informasi disekitar kita. Alat-alat tersebut selain mampu menempuh komunikasi jarak jauh, namun kini keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan kita sehari-hari. Hingga yang tadinya merupakan kebutuhan tersier, sekarang mulai beralih menjadi kebutuhan sekunder, bahkan ada pula yang mengatakan komunikasi adalah kebutuhan primer.
Sungguh mengherankan, ketika kurang lebih tujuh tahun yang lalu kita masih awam dan begitu tabu dengan alat komunikasi handphone. Maka sekarang alat ini dapat kita jumpai dan kita peroleh dengan mudah. Kita pun dapat melihat anak-anak kecil mempunyai dan sangat lihai dalam menggunakan handphone. Handphone yang sebelumnya merupakan high product dan hanya mampu dimiliki oleh segelintir orang saja, sekarang masyarakat menengah ke bawah pun mulai banyak yang menggunakan alat ini.
Fenomena tersebut adalah salah satu bentuk dari berkembang pesatnya komunikasi dan kebutuhan manusia. Disatu sisi, kemajuan teknologi ini memberikan banyak kontribusi positif bagi kehidupan manusia. Kita tidak perlu pergi jauh-jauh mengunjungi suatu negara untuk mengetahui bagaimana latar belakang negara tersebut, potret kehidupan masyarakatnya, perekonomiannya, perindustriannya, dan lain-lain. Hanya dengan duduk di depan komputer (internet) kita sudah mampu menjelajah bahkan ke negara-negara lain untuk mendapatkan berbagai informasi. Namun ternyata disisi lain kemajuan teknologi ini juga berdampak pada kesenjangan dan kemerosotan pola hidup masyarakat. Kesenjangan informasi ini ditandai dengan semakin bergantungnya masyarakat terhadap komunikasi dari luar. Kita semakin larut dan hanyut ketika arus informasi datang ke kita. Bahkan informasi yang tidak kita inginkan pun juga akan menghampiri kita. Seakan kita sudah terjebak dan terkekang dengan informasi. Fungsi positif dan negatif ini sejalan dengan pendapat dari Robert K. Merton dalam teori pendekatan strukturalismenya.
Kesenjangan informasi tersebut awalnya dirasakan oleh sebagian besar masyarakat dalam suatu negara. Tetapi dalam perkembangan lebih lanjut, kesenjangan informasi ini ternyata meluas hingga ke beberapa negara. Polemik ini melibatkan tidak hanya beberapa negara saja, namun juga menjadikan dunia internasional menjadi terpecah antara dua kubu. Pertentangannya kemudian melibatkan antara negara-negara Dunia Kesatu (seperti Amerika Serikat dan Negara-negara Eropa) dengan Dunia Ketiga (negara-negara berkembang, seperti Amerika Latin, Afrika, dan Asia, termasuk Indonesia).
Kecenderungan ini pada akhirnya menimibulkan konvergensi di berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Hal ini karena informasi dan komunikasi dapat melikupi bidang-bidang tersebut. Dalam politik kita membutuhkan komunikasi, hingga muncullah komunikasi politik. Dalam ekonomi kita membutuhkan komunikasi, maka lahirlah komunikasi pembangunan. Bahkan dalam kehidupan sosial pun kita membutuhkan komunikasi, yang kita kenal dengan sosiologi komunikasi. Begitu pula dengan bidang-bidang lainnya, komunikasi dan informasi menjadi multidisipliner.
Namun seperti paradigma fungsi dan disfungsi di atas, percampuran informasi dan komunikasi ke dalam berbagai bidang lain ternyata juga berakibat kesenjangan bidang-bidang tersebut. Semuanya berawal dari sumber arus informasi yang datang dari negara-negara Dunia Ketiga. Tentu saja negara-negara berkembang yang notabenenya sebagai konsumen informasi merasakan ketidakadilan, karena banyak informasi yang datang tidak sesuai dengan latar belakang kebudayaan, keyakinan, dan kehidupan sosial mereka. Semua menjadi seragam dan kita seakan terus dipaksa untuk mengikuti tawaran-tawaran dari negara Dunia Ketiga. Percampuran berbagai bidang tadi (politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya) lambat laun menimbulkan kesan negatif dan homogen. Peristiwa yang terjadi disebuah negara akan segera mempengaruhi perkembangan masyarakat di negara-negara lain. Menurut istilah John Naisbitt dan Patricia Aburdene (1991), dunia kini menjadi sebuah global village.

Model S-M-C-R-E (Short-Message-Chanel-Receiver-Effect)
Permasalahan kesenjangan informasi dan komunikasi dalam dunia internasional ini sesuai dengan teori komunikasi model S-M-C-R-E (Short-Message-Chanel-Receiver-Effect). Teori ini menyatakan bahwa media massa mempunyai kekuatan yang besar dalam menyampaikan sebuah pesan kepada masyarakat. Komunikasi yang berlangsung adalah komunikasi satu arah (one way flow of world communication), yakni bersifat linier dengan tidak ada umpan balik (feed back) dari komunikan kepada komunikator. Media massa menyajikan stimuli yang begitu kuat, sehingga mampu melahirkan perasaan emosi, desakan, pemikiran di luar nalar yang hamper tidak dapat dikontrol oleh penerimanya. Bahkan tanpa disadari, komunikan lambat laun akan terhanyut dan larut dengan informasi yang disajikan oleh media massa.
Namun berbeda dengan teori lain seperti model S-M-R-C (Short-Message-Chanel-Receiver) atau model jarum hipodermik (hypodermic needle model), model S-M-R-C-E memiliki efek atau dampak bagi komunikan berupa kritik (penolakan). Komunikan masih memiliki andil dalam komunikasi ini dalam bentuk kritik atau ketidakpuasan. Kritk dari komunikan dapat kita lihat dari penuntutan negara Dunia Ketiga terhadap dominasi informasi dan komunikasi dari negara Dunia Kesatu. Akan tetapi, kritik ini hanya diperuntukkan bagi diri komunikan itu sendiri dan sulit untuk tersampaikan kepada komunikator. Sehingga komunikasi masih berlangsung satu arah.
Penulis menggunakan model S-M-C-R-E (Short-Message-Chanel-Receiver-Effect) karena melihat masih adanya perlawanan (efek) dari komunikan berupa kritik. Berbeda dengan model jarum hipodermik yang menyatakan komunikan sangat bersifat pasif, dalam permasalahan kesenjangan ini teori komunikasi mengalami perkembangan dengan menjadikan komunikan sedikit memiliki andil dalam berlangsungnya komunikasi.

Kerangka Pikiran dan Analisis
Masalah kesenjangan informasi dan komunikasi dunia internasional ini mulai hangat dibicarakan pada decade tahun 1970-1980. Ketika itu, anggota-anggota negara Dunia Ketiga menuntut diberlakukannya tata informasi dan komunikasi dunia yang baru (A New World Information and Communication Order). Yakni sistem tata informasi dan komunikasi yang lebih adil dan berimbang antara barat dan timur.
Negara-negara Dunia Ketiga melihat bahwa informasi yang datang dari barat banyak yang mengandung unsur kebebasan. Informasi ini seringkali menimbulkan persepsi yang salah dari masyarakat. Dunia Kesatu hanya menganggap arus informasi internasional yang bebas (free flow) tanpa kekangan oleh masing-masing sistem nasional. Kemudian dengan konsep kebebasan tadi, mereka mampu dan menganggap bahwa informasi yang mereka sampaikan merupakan hak dari setiap individu untuk memperoleh informasi.
Ketimpangan informasi dunia internasional ini berawal dari interdependensi atau ketergantungan media-media local terhadap media asing. Di negara-negara berkembang khususnya, media-media swasta sangat tumbuh sedemikian cepat. Mereka saling berlomba-lomba untuk mendapatkan berita dan informasi. Persaingan ini kemudian meluas dengan menghadirkan informasi-informasi dari pihak luar. Media lokal meyakini bahwa kecenderungan masyarakat pribumi terhadap kebudayaan dari negara lain sangat tinggi. Hal ini juga didukung dengan kemajuan dan kesejahteraan dari Negara-negara maju. Seolah menggambarkan kalau Negara barat lebih modern, kebudayaannya lebih bersifat bebas dan sedikit intervensi dari pemerintah maupun masyarakat sekitar. Masyarakat seolah diajak untuk bermimpi dan melahirkan pemikiran bahwa dunia barat adalah dunia modis, modern, maju, dan berkelas tinggi. Persaingan antara media swasta tadi ternyata menyebabkan masyarakatnya semakin larut dan hanyut akan gambaran keindahan negara-negara barat.
Ketergantungan media-media swasta tersebut dikarenakan kurangnya akses dan keterbatasan teknologi atau ekonomi yang mereka miliki. Mereka hanya bisa mengambil atau membeli berita dari kantor-kantor berita asing (seperti Reuters, AFP, UPI, CNN, dan lain-lain) untuk kemudian disampaikan kepada masyarakat. Seperti kita ketahui, suatu berita selalu memiliki sisi subjektif dari penulis atau wartawannya. Maka berita-berita asing tersebut pasti mengandung unsur ideologi, keyakinan, visi misi, dan pandangan dari setiap kantor berita asing. Pada akhirnya media swasta hanya bisa mengedit dan membatasi setiap berita yang diterimanya, kemudian disesuaikan dengan ideologi, visi misi, dan keyakinan dari media swasta itu sendiri. Media lokal pun menjadi sulit untuk mengembangkan inovasi-inovasi dari suatu pemberitaan. Mereka hanya bisa memilih-milih berita yang sesuai dengan latar belakang media lokal. Kreativitas mereka menjadi terkungkung dengan hanya mengambil berita dari beberapa sumber saja, tanpa terjun langsung untuk mengamati, meneliti, dan menginvestigasi peristiwa yang akan dijadikan berita. Hingga ketika berita tersebut sampai kepada masyarakat, kita akan melihat hampir adanya keseragaman berita-berita dunia internasional antara media yang satu dengan media yang lain. Kalaupun ada perbedaan, hal itu hanya sebatas pada pandangan dan subjektivitas dari industri dan organisasi media-media swasta.
Interdependensi media swasta terhadap media asing juga tidak hanya dalam lingkup berita saja, melainkan juga melikupi bidang-bidang lain. Melalui televisi, internet, dan surat kabar, industri media juga menawarkan sisi estetika dunia barat. Sehingga kesenjangannya semakin luas dengan melibatkan bidang-bidang lain. Contohnya kita dapat lihat dari perubahan pola hidup masyarakat. Masyarakat lebih senang pergi ke tempat-tempat yang berbau barat, entah itu untuk sekedar makan, membeli pakaian, ataupun membeli barang-barang impor. Lingkungan di sekitar kita pun tidak luput dari globalisasi kebudayaan, seperti perubahan bentuk bangunan, sarana transportasi, bahkan hingga menamakannya pun mengikuti barat (seperti transportasi busway, water way, subway dan pusat perbelanjaan ITC, Citos, DTC). Kemudian disusul dengan berbagai program acara televisi (sinetron, film, reality show, dan lain-lain) yang mengikuti program acara di stasiun televisi asing, seperti sinetron-sinetron remaja yang umumnya mengadopsi dari sinetron di Taiwan dan Korea, serta acara-acara reality show di Indonesia (Deal or No Deal, Who Wants to be a Millionare, dan Mamamia di Indosiar).
Dengan interdependensi tersebut, meskipun dalam ruang lingkup yang luas, namun arus informasi dan komunikasi yang berlangsung mirip dan sesuai dengan model komunikasi dua tahap (two step flow model). Konsep kemunikasi ini berasal dari Paul Lazarsfeld, Berelson, dan Gaudet (1948) yang mendasarkan penelitiannya menyatakan bahwa ide-ide seingkali datang dari radio dan surat kabar yang ditangkap oleh pemuka pendapat (atau media-media lokal) dan dari mereka ini berlalu menuju masyarakat yang kurang giat. Tahap pertama adalah dari sumbernya, yakni kantor berita asing kepada media-media local yang menyampaikan informasi. Kemudian dilanjutkan dengan tahap kedua, yakni dari media local kepada masyarakat. Bahkan fenomena ini juga dapat kita masukkan dalam model komunikasi tahap ganda (multi step flow model), yakni model yang didasarkan pada fungsi penyebaran yang terjadi pada kebanyakan situasi komunikasi.
Seperti dijelaskan diatas, yang sesungguhnya menjadi korban adalah masyarakat dari negara-negara Dunia Ketiga. Mereka sebagai konsumen informasi selalu menerima segala informasi dari media-media. Pemberitaan dari suatu media memliki karakteristik menggeneralisasi dan bersifat linier. Biasanya karena persaingan dari media swasta lain, media informasi seringkali tidak mengindahkan nilai-nilai dan norma yang ada di masyarakat. Mereka hanya mementingkan rating dan minat dari masyarakat. Sehingga apabila masyarakat tidak menyukai suatu program acara, maka industri media atau production house dengan cepat akan mengganti program acara tersebut. Media massa yang seharusnya berfungsi memberdayakan masyarakat dan mengontrol sosial, kini mengalami pergeseran menjadi dikontrol oleh sosial karena tidak memiliki prinsip kuat dan hanya mengikuti selera publik.
Akibat dari gencarnya informasi nuansa hedonis barat, masyarakat di negara berkembang mengalami berbagai proses perubahan, seperti alienasi dan dehumanisasi. Alienasi adalah keadaan merasa terasing (terisolasi), yakni orang-orang yang tidak mengikuti zaman dan mengalami perubahan gaya hidup ke arah modern akan dikucilkan dari masyarakat. Mereka akan dijauhkan dan dianggap rendah (kuno) oleh masyarakat. Sehingga setiap orang berlomba-lomba untuk menjadi manusia modern dan mengikuti budaya barat. Sedangkan dehumanisasi adalah kebalikan dari humanisasi, yakni manusia tidak lagi mengenal hakikat dirinya dan mereka dipencilkan oleh diri mereka sendiri. Banyak orang tidak lagi memiliki kesanggupan untuk menentukan peranannya dalam komunikasi sosial. Manusia lebih mementingkan keinginan daripada kebutuhannya. Dalam hal ini, hawa nafsu yang begitu besar mengalahkan keterbatasan yang ada pada manusia. Padahal kemungkinan keinginan-keinginan tersebut tidak sesuai dengan diri manusia itu sendiri.
Kita tentu ingat dengan iklan telepon selular Fren dengan jargon atau kata-katanya yang terkenal, “hari gene belum punya handphone”. Sekilas iklan tersebut tampak biasa bagi kita dan masyarakat perkotaan yang notabenenya sudah mempunyai handphone, namun ternyata informasi tersebut memiliki pengaruh yang kuat bagi masyarakat yang belum memiliki telepon selular. Akhirnya, banyak orang-orang yang ingin memiliki alat komunikasi ini juga meskipun dengan keterbatasan ekonomi. Mereka menganggap jika belum memiliki handphone, maka mereka akan ketinggalan zaman dan direndahkan oleh masyarakat. Bahkan dalam perkembangan lebih lanjut, banyak orang yang membeli handphone hanya untuk sekedar gaya atau pamer dengan membeli handphone mahal. Mereka seolah melupakan hakikat handphone sebagai alat komunikasi.
Menghadapi hal ini, pemerintahan dalam negara-negara berkembang tentu saja tidak tinggal diam. Banyak negara yang melakukan upaya untuk mengatasi permasalahan ini. Berbagai macam cara pun mereka lakukan, seperti menuntut ditegakkannya tata informasi dan komunikasi dunia yang baru. Upaya ini membuahkan hasil dengan dikeluarkannya Resolusi Majelis Umum PBB No. 3201 tentang Tata Ekonomi Dunia Baru. Meskipun resolusi ini masih belum tampak secara signifikan dalam tataran praktisnya, namun langkah ini merupakan salah satu bentuk dari penolakan dominasi negara Dunia Kesatu terhadap Negara-negara berkembang. Tentunya kita semua berharap agar kesenjangan informasi dan komunikasi dalam dunia internasional dapat segera teratasi dan menimbulkan keberimbangan bagi semua pihak.

MEMAHAMI FUNGSI DAN DISFUNGSI KOMUNIKASI MASSA
MELALUI PENDEKATAN FUNGSIONALISME & STRUKTURALISME ROBERT KING MERTON


Komunikasi massa mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat. Peranan tersebut dapat dirasakan karena media massa memiliki fungsi dalam setiap perkembangan masyarakat. Selain fungsi positif, media massa juga dapat menghadirkan fungsi negatif (disfunction). Fungsi-fungsi tersebut kemudian dapat dikelompokkan menjadi : yang berfungsi, sebagaimanan yang seharusnya. Dan yang disfungsi, yang berfungsi tidak semestinya.
Komunikasi yang dilakukan oleh media massa secara garis besar memiliki dua fungsi pokok : fungsi terhadap masyarakat (social function) dan fungsi terhadap individu (individual function). Fungsi artinya peran atau sesuatu yang diperankan oleh sesuatu hal dalam kegiatan pihak lain. Dan fungsi tersebut dapat dirasakan oleh diri orang secara individual maupun bagi kelompok masyarakat secara keseluruhan.
Banyak pakar yang menganalisis fenomena ini sehingga menghasilkan teori fungsi dan disfungsi, seperti Harold D. Lasswell, Charles R. Wright, Paul F. Lazarsfeld, dan Robert K. Merton. Meskipun mereka bukan termasuk dalam pakar komunikasi, namun teori-teorinya menjadi sumbangan besar bagi perkembangan ilmu komunikasi. Dalam pembahasan kali ini penulis mencoba lebih mengkhususkan menganalisis pendekatan fungsionalisme dan strukturalisme Robert K. Merton mengenai fungsi dan disfungsi serta kaitannya dengan komunikasi massa.
Fungsionalisme Struktural Robert K. Merton Dalam Sosiologi
Sebelum kita mengetahui pengertian fungsi dan disfungsi dalam komunikasi massa, kita perlu mengetahui paradigma lahirnya teori ini terlebih dahulu. Hal ini diperlukan agar kita dapat memahami teori ini dalam tataran praktis, terutama dalam mengaplikasikan komunikasi massa.
Seperti teori-teori ilmu komunikasi lainnya, teori fungsi dan disfungsi juga bukan murni teori dari ilmu komunikasi (seperti social learning theory Albert Bandura dan S-O-R theory Harold Laswell). Teori ini merupakan adaptasi dan pengembangan dari teori ilmu sosiologi, dan kemudian menjadi teori komunikasi juga. Hal ini karena objek material dari sosiologi dan komunikasi memiliki kesamaan, yakni manusia dan hubungannya dengan masyarakat. Dengan kata lain, ilmu komunikasi mengalami multidisipliner dengan ilmu-ilmu lainnya, sehingga mengahasilkan sosiologi komunikasi massa, psikologi komunikasi, komunikasi politik, dan sebagainya.
Merton dalam menulis tentang fungsionalisme struktural dalam sosiologi mengkritik tiga postulat analisis struktural seperti yang dikembangkan oleh antropolog Malinowski dan Radcliffe Bron (Ritzer, George – Douglas J. Goodman, 2004). Pertama adalah postulat tentang keyakinan dan praktik kultural sosial yang sudah baku fungsional untuk masyarakat sebagai satu kesatuan maupun untuk individu dan masyarakat. Merton berpendapat bahwa meski hal ini benar bagi masyarakat primitif yang kecil, namun generalisasi tak dapat diperluas ke tingkat masyarakat yang lebih luas dan kompleks.
Postulat kedua adalah fungsionalisme universal. Artinya bahwa seluruh bentuk kultur dan sosial dan struktur yang sudah baku mempunyai fungsi positif. Merton menyatakan bahwa postulat ini tidak sesuai dengan kehidupan nyata. Ia berkata bahwa tak setiap struktur, adat, gagasan, kepercayaan, dan sebagainya mempunyai fungsi positif. Postulat ketiga adalah tentang indispensibility. Argumennya adalah bahwa semua aspek masyarakat yang sudah baku tak hanya mempunyai fungsi positif, tetapi juga mencerminkan bagian-bagian yang sangat diperlukan untuk berfungsinya masyarakat sebagai satu kesatuan. Merton berkata bahwa kita sekurang-kurangnya tentu ingin mengakui akan adanya berbagai alternatif struktur dan fungsional yang dapat ditemukan di dalam masyarakat.
Merton berpendapat bahwa ketiga postulat ini bersandar pada pernyataan non empiris, berdasarkan sistem teoritis abstrak. Keyakinan Merton bahwa bukan pernyataan teoritis melainkan pengujian empiris yang penting untuk analisis fungsional mendorongnya untuk mengembangkan paradigma analisis buatannya sendiri. Menurut pengamatan Merton, perhatian analisis struktur fungsional mestinya lebih dipusatkan pada fungsi sosial daripada motif individual. Merton mendefinisikan fungsi sebagai “konsekuensi-konsekuensi yang dapat diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem tertentu”.
Tetapi jika orang hanya memusatkan perhatian pada adaptasi atau penyesuaian diri, maka ideologisnya menjadi bias (karena adaptasi selalu mempunyai akibat positif). Perlu diperhatikan bahwa satu faktor sosial dapat mempunyai akibat negatif terhadap fakta sosial lain. Merton kemudian mengembangkan gagasan tentang disfungsi. Misalnya, fenomena buruh di Indonesia jelas mempunyai akibat positif bagi kaum kapitalis perkotaan seperti memasok tenaga kerja murah, menyokong perekonomian, dan kemajuan industri. Namun hal itu justru menimbulkan disfungsi bagi masyarakat lain, seperti menyebabkan masyarakat pedesaan menjadi sangat tergantung pada perekonomian agraris karena tidak siap untuk pengembangan industrialisasi dan berkembangnya arus urbanisasi.
Merton mengemukakan konsep nonfunctions yang didefinisikannya sebagai akibat-akibat yang sama sekali tidak relevan dengan sistem yang sedang diperhatikan. Lalu apakah fungsi positif lebih banyak daripada fungsi negatif atau sebaliknya? Merton kemudian menawarkan konsep keseimbangan bersih (net balance). Kita tidak akan pernah dapat menjumlahkan fungsi positif dan disfungsi dan tak akan pernah mampu menentukan mana yang lebih banyak karena masalahnya sangat kompleks dan banyak penilaian subjektif yang melandasinya sehingga tak mudah dihitung dan ditimbang.
Merton juga memperkenalkan konsep fungsi nyata (manifest) dan fungsi tersembunyi (latent). Fungsi nyata adalah fungsi yang diharapkan, sedangkan fungsi tersembunyi adalah fungsi yang tidak diharapkan. Misalnya fungsi nyata perburuhan adalah meningkatkan produktivitas ekonomi masyarakat perkotaan. Tetapi juga terkandung fungsi tersembunyi, yakni menyediakan sebagian besar jumlah anggota kelas bawah yang membantu meningkatkan status pemilik modal, sehingga menyebabkan terjadinya kesenjangan masyarakat. Setiap tindakan mempunyai akibat, baik yang diharapkan maupun yang tak diharapkan. Meski setiap orang menyadari akibat yang diharapkan, analisis sosiologi diperlukan untuk menemukan akibat yang tak diharapkan ini.
Fungsi dan Disfungsi Dalam Komunikasi Massa Robert K. Merton
Teori fungsi dan disfungsi yang tadi merupakan teori sosiologi, kini digunakan juga dalam ilmu komunikasi, terutama yang terkait dengan komunikasi massa. Media massa juga termasuk dalam subsistem komunikasi, dan komunikasi itu sendiri merupakan bagian dari sistem masyarakat. Dengan kata lain, segala yang berhubungan dengan media massa selalu melibatkan masyarakat di dalamnya.
Fungsi terhadap indivudu dan masyarakat memiliki pengertian yang sangat luas. Mencakup orang banyak, kelompok, dan sistem budaya serta norma-norma sosial. Harold D. Lasswell dan Charles Wright menyatakan ada empat fungsi komunikasi massa, yakni :
Pengawas Lingkungan (Survillance of the Environment)
Fungsi pengawasan lingkungan merujuk pada upaya pengumpulan dan penyebaran informasi mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di dalam dan di luar lingkungan masyarakat. Media massa menyebarkan segala kejadian yang berkaitan dengan aspek-aspek sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Bagi individu dan masyarakat, pemberitaan ini berperan sebagai suatu peringatan (warning), seperti kejadian gempa bumi di Aceh dan pemberitaan Gunung Merapi di Jawa Tengah. Selain itu, pemberitaan tersebut juga menghasilkan disfungsi, seperti meningkatkan kepanikan dan terancamnya stabilitas masyarakat.
Korelasi Antara Bagian Dalam Masyarakat untuk Menanggapi Lingkungan
(Correlation of the Parts of Society in Responding of the Environment)
Fungsi korelasi meliputi interpretasi terhadap informasi dan preskripsi (petunjuk atau alternatif) untuk mencapai konsensus dalam upaya mencegah konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan. Disini media massa dituntut untuk berperan dalam menghubungkan setiap kejadian dengan tanggapan yang dapat muncul dari masyarakat. Pelaksanaannya biasanya dapat melalui aktivitas editorial dan tajuk rencana. Bagi masyarakat aktivitas ini berfungsi untuk membentuk mobilisasi dan mencegah ancaman terhadap stabilitas, stimulasi, apatisme, dan privatisasi. Namun disisi lain dapat meningkatkan konformitas dan kepasifan.
Sosialisasi dan Pewarisan Nilai-nilai (Transmission of the Social Heritage)
Fungsi sosialisasi menunjuk pada upaya transmisi dan pendidikan serta norma-norma dari satu generasi ke generasi berikutnya. Media massa memberikan informasi dan kerangka berpikir umum yang penting untuk masyarakat. Media massa sebagai sarana dan penghubung antara budaya satu dengan budaya lainnya. Fungsi ini berperan untuk meningkatkan kohesi dan keutuhan sosial, serta mengurangi anomi dan melanjutkan sosialisasi. Tetapi dapat pula membesarkan masyarakat massa dan terjadinya depersonalisasi dalam sosialisasi.
Fungsi Hiburan (Entertainment)
Fungsi ini menitikberatkan pada upaya-upaya komunikastif yang bertujuan memberikan hiburan pada khalayak luas. Bentuknya dapat berupa pemberitaan dunia entertaint, seni, film, olahraga, tempat wisata, dan sebagainya. Media massa dalam hal ini berfungsi memberikan penyegaran kepada individu maupun masyarakat. Sedangkan disfungsinya menyebabkan publik yang diverts (cenderung menghindarkan dari aksi-aksi sosial) dan meningkatkan kepasifan. Orang-orang menjadi lebih bersifat individualistic. Selera masyarakat kemudian menjadi rendah karena adanya hiburan (seperti infotainment dan gossip) dan tidak menghargai karya-karya lain yang lebih bermutu. Bagi kebudayaan, hal ini dapat melemahkan estetika dan berkembangnya kebudayaan pop.
Dengan berdasarkan fungsi-fungsi tersebut, Paul F. Lazarsfeld dan Robert K. Merton dalam makalah Mass Communication, Popular Taste, and Organized Social Action menambahkan fungsi sosial bagi komunikasi massa, yakni :
Fungsi dalam memberi dan mengukuhkan status publik (Status Conferral)
Di dalam setiap masyarakat legitimasi dan mengukuhan status oleh masyarakat akan diberikan pada ide-ide, isu-isu, orang-orang, organisasi-organisasi, atau gerakan-gerakan tertentu. Media massa kenudian memiliki fungsi untuk memberikan status masyarakat ini. Setiap ide-ide atau orang-orang yang dimuat oleh media massa akan memiliki prestise tersendiri. Media massa telah memberikan status publik yang tinggi. Misalnya media massa memberitakan aktor Nicholas Saputra mendapatkan penghargaan Panasonic Award sebagai aktor terbaik.
Fungsi untuk memperkokoh norma-norma sosial
Media massa mempunyai fungsi untuk memperkuat norma-norma sosial masyarakat. Umumnya media massa akan memuat atau melaporkan adanya penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma yang ada di dalam masyarakat. Contohnya kasus kekerasan mahasiswa IPDN Cliff Muntu yang mengakibatkan korban meninggal dunia. Melalui pemberitaan media, timbul berbagai macam tanggapan, tulisan, dan seminar dari masyarakat untuk membahas persoalan tersebut. Disini norma-norma sosial dan pendidikan telah dilanggar dan memerlukan preskripsi untuk memecahkan permasalahan ini.
Analisis Fungsi Pengawasan Lingkungan
Pemberitaan oleh media massa mengenai kedatangan Presiden Amerika Serikat George Walker Bush ke Indonesia mempunyai dampak yang luar biasa pada masyarakat. Penyebaran informasi ini dengan cepat mempengaruhi masyarakat bahkan jauh-jauh hari sebelum kedatangan Presiden AS tersebut. Disini media massa berusaha untuk memberikan semacam peringatan kepada masyarakat. Fungsi pemberitaan ini agar masyarakat dapat mengetahui bahwa kedatangan Presiden Bush akan mengakibatkan jalan-jalan di sekitar Bogor mengalami perubahan rute dan terganggunya sinyal telepon genggam. Sehingga masyarakat dapat memengambil tindakan lain demi kesuksesan kunjungan tersebut. Kemudian dengan kedatangan Bush secara tidak langsung mencerminkan dan menguntungkan Indonesia karena dapat mengembalikan citra Indonesia di dunia internasional.
Selain terjadi fungsi, pemberitaan pada media massa juga menghasilkan disfungsi. Pertama, dapat menyebabkan terganggunya stabilitas pada masyarakat. Masyarakat Bogor khususnya akan mengalami berbagai masalah terhadap peristiwa ini. Contohnya perubahan rute angkot dan terganggunya saluran komunikasi telepon genggam. Kedua, menimbulkan kegelisahan pada masyarakat. Contohnya orang-orang yang membenci Bush, terutama teroris, kemungkinan akan datang ke Bogor dan melakukan teror. Hal ini tentu saja mengakibatkan masyarakat menjadi tidak nyaman. Ketiga, menimbulkan penolakan dari masyarakat berupa demonstrasi, baik di Bogor maupun di kota-kota lainnya. Penolakan ini karena citra buruk Presiden Bush di mata masyarakat Indonesia.
Analisis Fungsi Korelasi
Media massa dalam tajuk rencananya berusaha untuk memberikan pendapat terhadap peristiwa yang sedang berlangsung. Pemberitaan ini menyangkut kehidupan orang banyak, dan akan menjadi stimuli bagi khalayak untuk memberikan tangggapan atau berbuat sesuatu. Fungsi dari editorial tersebut adalah memberikan pandangan alternatif terhadap kekerasan yang ada di masyarakat, terutama dunia pendidikan. Fungsi ini diharapkan dapat membentuk mobilisasi pada masyarakat sehingga mereka dapat mengurangi tindakan kekerasan. Tajuk rencana tersebut juga berfungsi terhadap individu, terutama mereka yang pernah mengalami atau melakukan tindakan kekerasan. Hasil yang diharapkan agar masyarakat dapat bersikap tidak apatis dan privatisasi terhadap fenomena ini.
Namun disisi lain editorial ini juga mengakibatkan kepasifan pada masyarakat. Mereka seakan-akan sangat tergantung dan menyetujui opini media massa tersebut. Masyarakat seakan terbawa dan larut, sehingga menimbulkan rasa konformitas bahwa dunia pendidikan di Indonesia saat ini telah mengalami pergeseran akibat tindakan kekerasan. Masyarakat menjadi kurang kritis dan menganggap / sepakat bahwa kekerasan sudah menjadi kebudayaan kolektif masyarakat Indonesia. Disfungsi yang lain adalah justru menyebabkan kekhawatiran dan kecurigaan terhadap profesionalisme lembaga pendidikan dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat. Dan imbasnya adalah memudarnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah.
Analisis Fungsi Sosialisasi
Melalui pemberitaan kebudayaan tradisional tersebut, media massa berusaha mensosialisasikan kembali nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Media massa turut berperan dalam mewariskan kebudayaan daerah sehingga masyarakat dapat mengetahui kebudayaan daerah lain. Fungsi dari pemberitaan ini dapat memperkaya kebudayaan lain karena adanya transmisi dan kohesi sosial antar kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lainnya. Kemudian dapat melestarikan kebudayaan tradisional, sehingga mewariskan kepada generasi yang akan datang. Fungsi lain yang diharapkan adalah meningkatkan keutuhan sosial dan keseragaman masyarakat.
Seperti yang lainnya, fungsi pewarisan ini juga menimbulkan disfungsi bagi masyarakat. Pertama, berkembanngnya masyarakat massa yang tidak terpusat (desentralisasi). Dari masyarakat massa ini dikhawatirkan akan mengakibatkan budaya massa. Budaya massa adalah peralihan dari masyarakat tradisional ke budaya masyarakat massa. Sehingga dapat menghilangkan keaslian (pakem) dari kebudayaan tradisional tadi. Hal ini menjadikan kebudayaan tradisional menjadi rendah. Kedua, dapat menyebabkan depersonalisasi dalam sosialisasi bagi individu. Sebagian orang ada yang menolak pewarisan budaya tadi karena menganggap akan mengancam kebudayaan mereka. Mereka berusaha untuk mencegah dan meyaring (filter) setiap kebudayaan yang datang.
Analisis Fungsi Hiburan (Entertainment)
Seperti telah dijelaskan diatas, fungsi hiburan menunjuk pada upaya komunikatif yang bertujuan memberikan hiburan pada khalayak luas. Hiburan yang disajikan pada media massa kali ini adalah seputar tempat arena bermain bagi anak-anak. Pemberitaan ini memberikan fungsi positif bagi masyarakat perkotaan karena mereka membutuhkan informasi seputar tempat untuk menghilangkan stress bersama keluarga (anak). Informasi ini memberikan kesegaran bahwa sarana hiburan ternyata juga terdapat ditempat-tempat umum. Mereka tidak perlu jauh-jauh untuk mencari sarana hiburan, karena sarana tersebut ternyata ada disekitar mereka. Pemberitaan tersebut juga turut menaikkan pamor dari Mal Artha Gading, karena masyarakat semakin mengenal bahwa di mal tersebut menyediakan sarana hiburan bagi keluarga.
Disfungsi dari fungsi hiburan ini adalah masyarakat menjadi divert dan cenderung menghindar dari aksi-aksi sosial. Mereka lebih senang kumpul bersama keluarga untuk menghibur diri. Hal ini mengakibatkan kerenggangan pada masyarakat. Masyarakat menjadi lebih bersifat individualistik dan hedonis. Disisi lain pemberitaan ini juga dapat mengembangkan kebudayaan pop, dimana orang lebih suka untuk mengikuti trend dan mengunjungi tempat-tempat hiburan. Masyarakat lebih suka menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan mereka menjadi sibuk dan rumit. Disfungsi ini kemudian meningkatkan kepasifan pada masyarakat.
Analisis Fungsi Pengukuhan Status Publik
Melalui pemberitaan salah satu tokoh masyarakat tersebut, Fauzi Bowo, media massa mencoba memberikan legitimasi dan pengukuhan status tokoh tersebut. Media massa dalam hal ini telah memberikan status publik yang tinggi terhadap Fauzi Bowo. Pengaruh dari media massa dapat menyebabkan masyarakat mempunyai pandangan positif terhadap tokoh tersebut. Masyarakat akan menganggap bahwa Fauzi Bowo merupakan calon gubernur yang tepat untuk memimpin Kota Jakarta. Kepercayaan dari masyarakat pun timbul. Hal ini karena citra yang ditonjolkan media massa terhadap Fauzi Bowo sedemikian besar dan positif. Para pendukungnya pun akan merasa senang karena tokoh idolanya diangkat oleh media, sehingga diharpkan dapat menambah dukungan terhadap Fauzi Bowo. Meskipun persolan tersebut tidak menjadi agenda pembicaraan masyarakat, namun dengan adanya pemuatan tokoh ini masyarakat mulai memperhatikan agenda tersebut.
Disfungsi dari pemberitaan salah satu calon gubernur DKI Jakarta ini tentu saja dapat menimbulkan kecemburuan sosial bagi pesaing calon gubernur lainnya. Kecemburuan ini juga dirasakan oleh para pendukungnya. Mereka kemudian berusaha menampilkan dan membesar-besarkan pilihannya. Media massa juga dituding terlalu meninggikan seseorang dan keberpihakkannya pada pihak lain. Secara tidak langsung, hal ini mengakibatkan timbulnya rasa persaingan atau bahkan permusuhan diantara kelompok masyarakat. Namun disisi lain, ada sebagian masyarakat yang justru lebih memilih bersikap apatisme dan tidak peduli. Hal ini karena anggapan mereka bahwa tokoh yang diangkat oleh media massa tersebut bukan tokoh yang mereka idolakan.
Analisis Fungsi Memperkokoh Norma-norma Sosial
Media massa pada analisis fungsi memperkokoh norma-norma sosial ini berusaha untuk melaporkan tentang adanya penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma yang ada di dalam masyarakat. Dengan adanya liputan ini diharapkan penyimpangan tadi dapat diluruskan kembali. Maksud media massa memberitakan peristiwa tersebut agar masyarakat dapat mengetahuinya sehingga mereka memberikan tangggapan untuk membahas persoalan tersebut. Fungsi dari berita ini diharapkan Masyarakat dituntut untuk bersikap kritis dan aktif terhadap kesalahan yang ada disekitar mereka. Sehingga norma-norma sosial dapat kokoh dan kembali seperti semula. Tujuan lainnya adalah untuk mengurangi terjadinya pergeseran norma-norma sosial tadi agar tidak menjadi kebudayaan, baik kebudayaan kolektif maupun kebudayaan individual, dalam masyarakat.
Namun fungsi pemberitaan tersebut juga mengalami disfungsi, yakni laporan tersebut hanya menceritakan sebagian kecil dari sekolah yang melakukan penyimpangan dan lebih menonjolkan sisi negatifnya saja. Hal ini dikhawatirkan akan mengakibatkan citra sekolah lain yang tidak melakukan penyimpangan juga turut mendapat predikat buruk. Media massa terlalu menggeneralisasi pemberitaannya. Walhasil, masyarakat akhirnya akan menilai kalau lembaga pendidikan saat ini perlu dipertanyakan kualitasnya. Disfungsi lainnya adalah dapat memberikan inspirasi bagi sekolah lain untuk melakukan penyimpangan serupa.



Selasa, 13 Mei 2008

Selamat datang duniaku... sebuah mimpi yang tercipta saat ku mulai bangun tidur hingga kembali memejamkan mata. Ku rindu akan datangnya pancaran cahaya kedamaian, begitu lama saat indah bersembunyi karena takut pada kegelapan. Dya yang selalu menuntunku menemukan peta hati, Dya yang membimbingku, yang tidak membiarkan diriku jatuh bersandarkan makhluk menjijikkan lainnya. Aku merasa hebat karenaNya. Menjadikan diri ini senantiasa bersemangat untuk mengalahkan datangnya kemunafikan...
Selamat datang jiwaku... kemanakah engkau saat ruh ini membutuhkan kasih sayang. Aku kesepian, merasa sendiri ditengah tutur kata penuh omong kosong yang dilontarkan sang pemohon untuk didengarkan. Seperti babi lumpur yang mengembik memohon untuk tidak dipanggang. Seperti anjing yang terbelenggu lehernya sehingga menurut kepada majikan. Ingin rasanya melihat begitu dalam, berusaha mengamati lebih jauh ada yang sedang dilakukanNya. Sedang apa Dya? Apa yang menghalangiNya untuk berkata "Kun Fayakun"...
Aku mencintaiNya... Sangat mencintaiNya... Hingga ku bingung menerka-nerka apakah aku diperhatikanNya. Sedangkan mataNya senang terhadap orang-orang memujiNya, menyembahNya, dan selalu memohon ampun terhadap diri mereka yang hina. Apakah aku seperti Ibrahim, atau haruskah aku seperti Muhammad yang menyendiri saat kebrengsekkan ada disekelilingnya. Aku tidak ingin seperti Musa yang menantang untuk bertemu denganMu. Aku yang selalu bersembunyi di dalam kekalutan. Berusaha tegar menatap saat nafasNya menerpa menghilangkan bau busuk ciptaanMu. Engkau sangat perkasa, aku terbatas dan tidak layak untuk mengujiMu. Menjauh... Dan mendekat... Membosankan...